KritikTajam – Polri memiliki peran yang sangat krusial dalam menjaga ketertiban dan keamanan. Namun, seiring dengan perubahan zaman dan teknologi, ruang lingkup serta kewenangan yang dimiliki oleh institusi kepolisian nyatanya mendapat sorotan tajam. Gagasan terbaru tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah menjadi inisiatif DPR RI, telah memicu beragam reaksi dari berbagai kalangan.
Revisi Undang-Undang Kepolisian atau yang lebih dikenal dengan RUU Polri mengundang banyak sekali polemik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah penambahan kewenangan Polri dalam pengawasan hingga pemblokiran di ruang siber. Hal ini dipandang dapat berpotensi mengancam kebebasan sipil serta mengganggu privasi warga negara.
Pemantauan dan Pembatasan Ruang Siber: Dengan diberikannya kewenangan lebih pada Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, termasuk pelaksanaan perlambatan akses ruang siber, terdapat kekhawatiran atas potensi penyalahgunaan wewenang. Hal ini karena dalam draf RUU tersebut, belum jelas batasan dan definisi konkret tentang keadaan yang memerlukan tindakan keamanan demikian.
Pandangan Para Pakar dan Penggiat Demokrasi: Sejumlah penggiat demokrasi dan peneliti melihat bahwa peraturan yang diusulkan belum jelas dan belum terkelola dengan baik. Lebih khusus, mereka mengkhawatirkan adanya ruang bagi penegak hukum untuk menggunakan kewenangan baru ini sebagai alat untuk membungkam kritik dan suara-suara yang kontra terhadap pemerintah.
Perlindungan Data Pribadi versus Pengawasan: Mengingat ledakan kasus kebocoran data pribadi di Indonesia, perlindungan atas data dan privasi warga harus menjadi prioritas. Namun, dengan RUU Polri yang memberi akses lebih luas kepada aparat keamanan dalam pengawasan ruang siber, tercipta pertanyaan serius mengenai sejauh mana data pribadi warga akan terlindungi.
Ketidakjelasan Pengawasan Polri: Kritik juga hadir karena RUU ini dinilai kurang memberikan penekanan pada mekanisme pengawasan yang efektif terhadap Polri. Kebebasan sipil dan privasi hanya dapat terjaga jika eksistensi kewenangan polisi seimbang dengan pengawasan yang juga kuat dari lembaga independen seperti Kompolnas.
Kekhawatiran Akan Efek Jangka Panjang: Jika RUU ini disahkan tanpa perubahan substansial untuk melindungi kebebasan dan privasi, mungkin akan terjadi efek jangka panjang yang tidak menguntungkan bagi kesehatan demokrasi di Indonesia. Hal ini kian dipertegas dengan adanya catatan pelanggaran yang melibatkan anggota kepolisian dalam beberapa waktu terakhir.
Keamanan atau Kelebihan Kewenangan?
Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menghadirkan potret baru terhadap lingkup kewenangan polisi. Di satu sisi, pandangan tentang peningkatan keamanan seolah mendapatkan titik terang, namun di sisi lain, ada kekhawatiran tertentu yang muncul terkait batas-batas kewenangan tersebut. Pertanyaan utama yang kemudian bermuara adalah, sejauh mana kewenangan ini diperlukan, dan bagaimana pengawasannya?
Ketika membicarakan tentang kegiatan penyadapan yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang, wajar jika banyak yang menjadi was-was. Di bawah pasal yang memungkinkan Polri melakukan pemblokiran hingga penyadapan, ada risiko tindakan yang tidak terkontrol dan berpotensi melampaui batasan:
Tidak Ada Landasan Hukum yang Jelas: Tanpa adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan, kewenangan baru ini terancam menjadi ‘senjata makan tuan’. Kejelasan hukum menjadi penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Dengan adanya perluasan kewenangan untuk mengumpulkan informasi melalui penyadapan, kebebasan personal dan privasi setiap individu menjadi taruhannya. Hal ini berbahaya apabila berujung pada pelanggaran privasi tanpa pengawasan yang efektif.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan perhatian serius terhadap kondisi ini. KontraS mengkritik bahwa RUU tersebut tidak menunjukkan upaya untuk memperkuat fungsi pengawasan yang ada. Berdasarkan pandangan KontraS, beberapa hal yang menjadi fokus kritik adalah:
Pengawasan yang Lemah: Kewenangan yang semakin luas idealnya diikuti dengan pengawasan yang ketat. Namun, dalam kasus RUU Polri yang baru, KontraS menilai bahwa kewenangan bertambah tanpa penambahan mekanisme pengawasan yang sepadan.
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan: Kegiatan penggalangan intelijen dan penyadapan oleh Polri berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN), sehingga menciptakan efisiensi yang rendah atau bahkan konflik kepentingan.
Lebih jauh lagi, wacana perluasan kewenangan ini muncul di tengah luberan kasus dugaan penyalahgunaan kekuasaan di institusi kepolisian yang kerap menimbulkan keraguan publik terhadap integritas pengawasan yang ada. Di ujung daya tangkap publik terdapat tanda tanya besar; apakah keamanan yang dijanjikan akan berjalan seiring dengan penghormatan terhadap kebebasan dan hak asasi setiap warga? Sebuah pertanyaan krusial yang menjadi tanggung jawab bersama
Dampak RUU Polri Pengamanan Ruang Siber
Rancangan Undang-Undang Polri yang baru ini membawa dampak signifikan terhadap pengamanan ruang siber di Indonesia. UU yang direncanakan tersebut mengusulkan penambahan kewenangan bagi Polri untuk melakukan pemblokiran hingga pemutusan akses internet sebagai bagian dari upaya keamanan dalam negeri. Langkah ini merupakan respons terhadap tantangan keamanan zaman now, namun patut diperhatikan dampak yang lebih luas yang mungkin muncul, dapat kita ulas sebagai berikut:
Pertama, maraknya ancaman siber yang terjadi belakangan ini memang menjadi alasan logis bagi penambahan kewenangan Polri dalam pengamanan ruang siber. Namun, perlu diingat bahwa akses internet merupakan bagian dari kebebasan berinformasi dan berkomunikasi yang dijamin undang-undang. Oleh karena itu, tindakan pemblokiran dan pemutusan akses harus dilakukan dengan aturan yang jelas dan proses yang akuntabel untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, kecenderungan peningkatan kekuasaan Polri dalam siber jika tidak dibarengi dengan pengawasan yang efektif dapat berpotensi mengancam kebebasan sipil. Kritik dari berbagai kalangan muncul dalam aspek ini, termasuk kekhawatiran akan adanya pengekangan atas kebebasan bersuara, peredaran informasi, dan hak privasi warga negara.
Kedua, pentingnya keseimbangan antara keamanan nasional dengan hak-hak sipil. Perlunya pengawal pengamanan database nasional untuk mencegah kebocoran data, serta regulasi yang transparan menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah disarankan tidak cepat-cepat dalam menandatangani RUU ini. Perlu ada diskusi terbuka bersama masyarakat sipil sehingga dapat menjangkau kesepakatan yang menjaga kedua belah pihak.
Potensi overreach ini menjadi isu sentral. Penetapan parameter apa yang dimaksud dengan “tujuan keamanan dalam negeri” dan bagaimana prosedur yang dijalankan adalah aspek kritis yang perlu dipertimbangkan. Perbandingan dengan negara-negara lain yang memiliki aturan serupa bisa menjadi bahan refleksi, di mana pengalaman mereka berpotensi menjadi pelajaran berharga dalam mengatasi risiko penyalahgunaan wewenang.
Kemudian, dalam perspektif jangka panjang, regulasi internet yang reaktif bisa menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi digital. Sudut pandang yang lebih manusiawi dan progresif untuk mengamankan dunia siber diinginkan agar tidak sekadar menjadi instrumen kontrol tetapi juga memfasilitasi pertumbuhan digital yang sehat dan inklusif.
Terakhir, RUU Polri sebaiknya menyediakan mekanisme peninjauan yang layak, dimana warga negara bisa memberikan masukan atau bahkan keberatan terhadap pemblokiran yang dirasa tidak berdasar. Transparansi dan keterbukaan pembahasan RUU menjadi salah satu kunci menyamakan persepsi antara pemerintah dengan warga negara terkait keamanan siber tanpa mengorbankan kebebasan dan hak asasi warga negara.
Perpanjangan Batas Usia Pensiun dalam RUU Kepolisian: Regenerasi atau Konsentrasi Kekuasaan?
RUU Polri wacana penambahan batas usia pensiun anggota kepolisian ini tampaknya ditujukan untuk memaksimalkan potensi anggota kepolisian yang masih memiliki kapasitas untuk memberikan kontribusi.
Regenerasi Kepolisian: spek yang menjadi kekhawatiran adalah perlambatan proses regenerasi di tubuh kepolisian akibat penundaan pensiun beberapa anggota. Hal ini dapat mengakibatkan minimnya kesempatan bagi angkatan lebih muda untuk naik pangkat dan mengisi posisi penting. Perluasan jangka waktu pengabdian menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan polisi senior untuk menjawab tantangan zaman yang dinamis dengan pembaruan strategi yang inovatif.
Konsentrasi Kekuasaan: Kekhawatiran lainnya berkaitan dengan penumpukan kekuasaan pada anggota senior yang terus menjabat, yang berpotensi menciptakan klik-klik kekuasaan tertentu di dalam organisasi. Ekspektasi terhadap kaum muda yang tertunda dalam mendapatkan kesempatan pimpinan karena posisi yang jarang berganti, dan kemungkinan ini dapat berdampak pada motivasi serta inovasi anggota polisi kelak.
Efektivitas Penjagaan Kepentingan Publik: Dilanjutkannya masa pengabdian anggota kepolisian diharapkan bisa meningkatkan kualitas penegakan hukum, mengingat pengalaman dan pemahaman yang dimiliki anggota senior sangat diperlukan. Namun, efektivitas ini harus tetap sejalan dengan upaya peningkatan performa dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan yang dinamis.
Keputusan untuk memperpanjang batas usia pensiun anggota kepolisian hendaknya dilakukan dengan pertimbangan matang akan kebutuhan akan regenerasi, peningkatan kualitas pelayanan kepada publik, serta keseimbangan struktur kekuasaan di internal kepolisian. Perubahan dalam RUU ini harus mampu menjawab tantangan kerasnya lingkungan strategis yang harus dihadapi oleh aparat kepolisian, sekaligus merespons kegelisahan masyarakat terkait konsentrasi kekuasaan dan inovasi dalam institusi kepolisian itu sendiri.
Baca Juga : Walhi Kritik Program Food Estate dari Era Soeharto, SBY, Jokowi