KritikTajam.com – Sebuah rangkaian pernyataan sikap yang bergema dari kampus-kampus ternama di Indonesia menandai titik kritis dalam percaturan demokrasi di negeri ini. Periode terakhir dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo menyaksikan sorotan intens dari para akademisi dan intelektual yang berkumpul di bawah panji almamater mereka untuk mengungkapkan keprihatinan terhadap apa yang mereka pandang sebagai penyimpangan jalur demokrasi.
Rangkaian peristiwa ini tidak hanya mengejutkan tapi juga mempertegas pentingnya diskusi terbuka dan kritis dalam sebuah negara demokratis. Artikel ini akan membawa Anda menyusuri daftar perguruan tinggi yang dengan berani menyuarakan kegarisan mereka sambil menyingkap kasus-kasus yang melatarbelakangi kekhawatiran tersebut.
Gelombang Kritikan Akademis Terhadap Jalur Demokrasi Pemerintahan Jokowi
Di tengah pergolakan politik yang mendebarkan jelang Pemilihan Umum 2024, kelompok akademisi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah memutuskan untuk tidak diam. Pernyataan sikap yang secara terbuka disampaikan oleh para akademisi bukan tanpa alasan, tetapi merupakan respon terhadap apa yang mereka lihat sebagai simpangan jalur demokrasi selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi pionir dengan inisiasi Petisi Bulaksumur. Kritik dari alma mater Presiden Jokowi ini didorong oleh keprihatinan akan nilai-nilai demokrasi yang dirasa semakin luntur. Isi petisi tersebut mencakup seruan agar Presiden Jokowi dan pendukungnya di kalangan pemegang kekuasaan untuk menghormati dan kembali pada prinsip-prinsip demokrasi.
Universitas Islam Indonesia (UII) tidak lama berselang mengikuti jejak seniornya dengan menggelar acara deklarasi sikap kenegarawanan yang mengusung tema ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’. Inisiatif ini mengangkat isu penyalahgunaan kewenangan dan intervensi politik yang terjadi dalam menjelang pemilu, dengan indikator utama pencalonan Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai cawapres yang dianggap sarat intervensi.
Sementara itu, Universitas Indonesia (UI) tak mengambil langkah yang berbeda. Melalui Deklarasi Kebangsaan yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar UI, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, para akademisi membahas kondisi demokrasi Indonesia yang mereka nilai telah terganggu. Tindakan para pejabat dan aparat hukum yang dianggap telah mengingkari sumpah jabatan dan mengejar keuntungan pribadi menjadi fokus kritikan mereka.
Juga bergabung dalam gelombang kritik ini adalah Universitas Andalas (Unand) yang menyerukan manifesto penyelamatan bangsa, serta Universitas Padjajaran (Unpad) dengan ‘Seruan Padjajaran’. Kedua universitas ini mengekspresikan kekhawatiran terhadap peristiwa-peristiwa yang mendistorsi pelaksanaan demokrasi menjelang pilkada yang semakin dekat.
Inisiatif dan gerakan kritis ini mencerminkan suatu tingkatan kepedulian yang tinggi dari kalangan akademis terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Sikap tegas mereka memberikan gambaran bahwa perguruan tinggi tak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga menjadi pengawal nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan bernegara.
Baca Juga : Apa Itu Kritik dalam Kehidupan Sehari-hari
Petisi dan Pernyataan Sikap dari Berbagai Universitas: Sebuah Respons Kolektif
Perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki peran penting sebagai pilar intelektual bangsa, belakangan ini telah menunjukkan sikap kolektif yang sangat kritis terhadap kondisi demokrasi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berbagai pernyataan sikap dan petisi yang dirilis menjadi bukti ketegasan suara akademisi dalam menyikapi gejala penyimpangan yang terjadi di pemerintahan saat ini.
- Universitas Islam Indonesia (UII) mengawali dengan rilis ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’, yang menggambarkan keprihatinan mendalam akan situasi politik dan pemerintahan. Adanya indikator konkret seperti pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres serta putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, menambah kuatnya seruan untuk perubahan.
- Universitas Gadjah Mada (UGM) menginisiasi ‘Petisi Bulaksumur’, di mana sivitas akademika universitas tersebut secara terang-terangan meminta Presiden Jokowi, yang juga alumnus UGM, untuk kembali kepada jalur demokrasi yang benar. Petisi ini juga meluapkan kekecewaan atas sejumlah kasus yang berindikasi melenceng dari etika dan nilai demokrasi.
- Universitas Indonesia (UI) mengekspresikan kekhawatiran serupa melalui ‘Deklarasi Kebangsaan’. Isi dari deklarasi menunjukkan rasa resah atas sikap dan tindakan aparatur negara yang terkesan melupakan sumpah jabatannya demi kepentingan pribadi dan golongan.
- Universitas Andalas (Unand) menyampaikan ‘Manifesto Penyelamatan Bangsa’ di hadapan khalayak, yang mencerminkan kegelisahan akan tergerusnya nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi pijakan dalam praktik demokrasi.
- Akademisi Universitas Padjajaran (Unpad) tak mau ketinggalan dengan mengeluarkan ‘Seruan Padjajaran’, yang turut menegaskan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki arah pemerintahan untuk menopang kepentingan nasional di atas segalanya.
Sikap bersama ini menunjukkan betapa mendalamnya kepedulian sivitas akademika terhadap nasib demokrasi di negeri ini. Sivitas akademika berbagai universitas tidak lagi sekadar sebagai penonton tapi juga sebagai aktor penting dalam menentukan arah demokrasi Indonesia yang lebih sehat. Keberanian perguruan tinggi ini dalam bersuara diharapkan dapat menjadi titik balik penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai demokrasi tidak hanya tinggal teori, tapi juga terwujud dalam praktik pemerintahan yang lebih bersih, transparan dan bertanggung jawab.
Suar Kritis dari Kampus: Penerang Isu Kenegarawanan dan Demokrasi
Pergerakan kritis atas nama demokrasi berawal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yang mana bukan sekedar instansi pendidikan namun juga pelopor yang mengobarkan semangat demokrasi. Sivitas akademika UGM telah tampil ke depan dengan “Petisi Bulaksumur”, sebuah dokumen yang merangkum berbagai aspek kekhwatiran terhadap pelaksanaan nilai-nilai demokratis. Inti dari desakan tersebut adalah seruan untuk kembali kepada dasar-dasar demokrasi yang merupakan fondasi dalam pembangunan negara-bangsa.
Setelah UGM, giliran Universitas Islam Indonesia (UII) yang mengeluarkan pernyataan sikap. Dengan didukung oleh tenaga pendidik dan praktisi kampus tersebut, UII menggemakan “Indonesia Darurat Kenegarawan”, menyatakan bahwa krisis politik saat ini mencerminkan kondisi darurat yang mempengaruhi stabilitas negara dan sistem hukum. Penyampaian sikap ini juga dilakukan sebagai kegiatan akademis yang mendesak dilakukannya introspeksi bagi para pemimpin dan masyarakat.
Universitas Indonesia (UI) tidak tertinggal dalam meneriakkan keprihatinan serupa. Dengan “Deklarasi Kebangsaan” yang dibacakan oleh Ketua Dewan Guru Besar, UI menunjukkan betapa demokrasi saat ini terganggu oleh sengitnya kontestasi kekuasaan yang mengesampingkan etika. Fokus kegiatan ini adalah pada pemulihan demokrasi yang telah dirusak oleh tindakan sebagian pelaku di panggung politik Indonesia.
Berikutnya, Universitas Padjadjaran (Unpad) yang dengan “Seruan Padjajaran” mengajak semua lapisan masyarakat untuk bergerak bersama mendesak Presiden Jokowi agar mengevaluasi kebijakan yang telah diambil dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan. Seruan ini juga merupakan representasi dari keprihatinan mendalam akan tatanan demokrasi yang mulai luntur.
Daftar perguruan tinggi yang menyuarakan kritik atas demokrasi semakin bertambah, menegaskan bahwa kampus-kampus di Indonesia memiliki peran aktif dalam menggugat ketika terjadi penyimpangan:
- Universitas Indonesia (UI)
- Universitas Gadjah Mada (UGM)
- Universitas Andalas (Unand)
- Universitas Islam Indonesia (UII)
- Universitas Padjajaran (Unpad)
- Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
- Universitas Riau (Unri)
- Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
- UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Institut Teknologi Bandung (ITB)
Setiap universitas dengan nyaring mengajukan tuntutan agar integritas demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia tidak hanya menjadi jargon tetapi menjadi prinsip tindakan konkret yang berlaku di setiap sendi pemerintahan.
Baca Juga : Mengungkap Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia untuk Masa Depan
Reaksi dan Tanggapan Pemerintah
Menjawab gelombang kritik yang muncul dari berbagai perguruan tinggi, pemerintah melalui sejumlah perwakilan resmi menunjukan sikap yang cukup beragam. Dari redaksi Tempo diketahui bahwa tanggapan pemerintah mengindikasikan interaksi yang kritis antara kalangan akademis dengan roda pemerintahan. Berikut adalah gambaran respons dari pemerintah atas seruan-seruan yang muncul:
Puan Maharani, yang juga merupakan politisi senior dari PDIP, memberi tanggapan ringkas terhadap kritik yang ditujukan ke Presiden Jokowi dari kalangan akademis. Puan mengajak semua elemen masyarakat, termasuk sivitas akademika, untuk bersama-sama membuktikan bahwa Pemilu 2024 akan menjadi momentum demokrasi yang jujur, adil, dan netral.
Tidak ada pernyataan resmi yang mencatat sikap spesifik dari partai politik atau simpatisan-simpatisan terhadap seruan universitas-universitas tersebut. Namun, dinamika pemilu yang semakin dekat menjadikan isu ini perhatian khusus dalam agenda politik mereka.
Ketika awak media menggali lebih dalam terkait apakah kritik-kritik tersebut memiliki kaitan dengan manuver politis PDIP, Puan memberikan reaksi yang tidak spesifik dan memilih untuk menanggapi dengan pertanyaan retoris dan senyuman.
Dalam kampanye akbar PDIP yang berlangsung di Stadion Pringgondani, Puan Maharani menggunakan kesempatan tersebut untuk menyerukan pelaksanaan Pemilu 2024 yang damai serta patuh pada prinsip-prinsip demokrasi. Ia juga mengecam segala bentuk intimidasi yang mungkin mengganggu jalannya pemilu yang netral dan transparan.
Interaksi antara pemerintah dan kalangan akademis ini sendiri mencerminkan pentingnya ruang dialog dalam demokrasi. Seruan yang datang dari perguruan tinggi menunjukkan keterlibatan aktif dari sektor pendidikan dalam pengawasan dan penilaian jalannya demokrasi di Indonesia. Arah dan kualitas interaksi ini akan menjadi indikator penting dalam melihat bagaimana respons pemerintah terhadap kritik serta masukan dari para akademisi, terutama dalam menghadapi Pemilu 2024 yang menjadi tonggak penting bagi demokrasi di Indonesia.